NASIONALISME INDONESIA, PERSPEKTIF SEJARAH BANGSA DAN PANCASILA
Abdul Hadi W. M.
Nasionalisme
adalah sebuah tuntutan politik. Setiap bangsa berhak menuntut
kedaulatan atas negeri tempatnya tinggal selama berabad-abad berdasarkan
alas an-alasan budaya, ekonomi dan kemasyarakatan. Sebagai dasar dan
tujuan berdirinya negara republik Indonesia, asas nasionalisme
tercantum dalam Pancasila sebagai sila ketiga, yaitu Persatuan. Sebagai
dasar ideology Negara Pancasila sepatutnya menjadi acuan kerangka kita
dalam membangun kehidupan berbangsa. Sebbab selain dipandang sebagai
dasar ideology Negara, Pancasila telh ditetapkan sebagai sumber hukum
oleh MPR dan juga senantiasa dipandang sebagai paradigma budaya dalam
melaksanakan semboyan Negara “Bhinneka Tunggal Ika”.
Pada mulanya kelima sila atau asas yang tercantum di dalamnya itu
merupakan usulan Bung Karno pada Sidang Badan Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPKI) pada bulan Juni 1945. Lima asas itu ialah nasionalisme,
internasionalisme atau kemanusiaan, demokrasi, keadilan social, dan last but not least –
terakhir tetapi bukan tidak penting – ialah kepercayaan kepada Tuhan
yang Maha Esa. Dari segi politik Pancasila sering dipandang sebagai
bentuk rekonsiliasi dan sintesa dari tiga arus politik utama di
Indonesia, yaitu nasionalisme, Islam dan sosialisme (Ruslan Abdulgani
1976)
Kita bisa memberi tafsir anekaragam terhadap pernyataan ini, sesuai
dari sudut pandang mana kita melihatnya. Ruslan Abdulgani sendiri
menafsirkan sedemikian rupa dengan menekankan pada ‘rekonsiliasi’.
Alasannya, konsep nasionalisme Indonesia harus sesuai dengan pandangan
hidup bangsa Indonesia yang lebih menekankan keselarasan dan keserasian
dibanding dialektika dan konflik. Walaupun semangat persatuan telah
bertunas sebelum datangnya kolonialisme, akan tetapi konsep
nasionalisme yang dikenal pada abad ke-20 di negeri kita berakar dalam
konsep nasionalisme Eropa.
Lahirnya Nasionalisme
Sebagai ideologi modern, nasionalisme muncul sekitar tahun 1779 dan
mulai dominant di Eropa pada tahun 1830. Revolusi Perancis pada akhir
abad ke-18 sangat besar pengaruhnya berkembangnya gagasan nasionalisme
tersebut. Semenjak itu beberapa kerajaan feudal mengalami proses
integrasi menjadi ‘negara kebangsaan’ atau nation state yang
wilayahnya menjadi lebih luas dan hidup dalam system pemerintahan yang
sama. Sejak itu di negara-negara Eropa dan Amerika bermunculan pula
gerakan-gerakan kebangsaan, dan segera menjalar ke Asia. Hal ini
disebabkan ampuhnya nasionalisme sebagai ideology yang dapat
mempersatukan banyak orang di negeri-negeri jajahan dalam menentang
kolonialisme.
Hans Kohn, seorang ahli ethnografi atau anthropologi budaya abad
ke-19 dari Jerman mengatakan bahwa apa yang disebut bangsa ialah
himpunan komunitas yang memiliki persamaan bahasa, ras, agama dan
peradaban. Mereka hidup dalam sebuah wilayah dan mempunyai yang sama.
Suatu bangsa tumbuh dan berkembang, menurut Hans Kohn, karena adanya
unsur-unsur dan akar-akar sejarah yang membentuknya. Teori yang
didasarkan pada persamaan ras dan etnik dan unsur-unsur lain yang
bersifat primordial agaknya kurang mendapat tempat, walaupun ada
beberapa yang melaksanakannya seperti Jepang dan Israel.
Teori lain dikemukakan oleh Ernest Renan, seorang filosof Perancis
akhir abad ke-19. Teorinya mendapat penerimaan luas dan didasarkan atas
evolusi masyarakat Eropa dalam sejarahnya hingga pertengahan abad ke-19,
masa berkembang luasnya faham nasionalisme di Eropa. Evolusi yang
dimaksud ialah timbul tenggelamnya bangsa-bangsa di benua itu sejak
zaman pra-Sejarah hingga zaman modern. Unsur-unsur yang membentuk suatu
bangsa atau negara bangsa ialah:
(1) Jiwa atau asas kerohanian yang
sama, berupa pandangan hidup dan system nilai;
(2) Memiliki solidaritas
besar, misalnya disebabkan persamaan nasib dalam sejarah;
(3) Munculnya
suatu bangsa merupakan hasil Dario sejarah;
(4) Karena merupakan hasil
suatu sejarag apa yang disebut bangsa itu sebenarnya tidaklah abadi atau
kekal;
(5) Wilayah dan ras bukanlah suatu peyebab timbulnya bangsa.
Wilayah hanya memberi ruang untuk menjalankan kehidupan, sedangkan jiwa
bangsa dibentuk oleh pemikiran, system kepercayaan, kebudayaan dan
agama. Karena itu ia menyebut bangsa sebagai ‘suatu asas kerohanian yang
sama’.
Renan juga mengemukakan beberapa faktor penting terbentuknya jiwa
atau semangat suatu bangsa:
(1) Kejayaan dan kemuliaan di masa lampau;
(2) Suatu keinginan hidup bersama baik pada masa sekarang maupun pada
masa yang akan datang;
(3) Penderitaan bersama atau rasa senasib
sepenanggungan sehingga menimbulkan solidaritas besar untuk bangkit;
(4)
Penderitaan besar yang dialami bersama dalam sejarah melahirkan pula
apa yang disebut ‘Le capital social’ (modal sosial) . Ini
berguna bagi pembentukan dan pembinaan faham kebangsaan. Tetapi apa
yang terjadi di masa lalu tidaklah sepenting apa yang diharapkan di masa
depan;
(5) Karena yang penting ialah apa yang dihasratkan di masa depan
maka terbentuknya suatu bangsa yang kuat memerlukan “persetujuan
bersama pada waktu sekarang”, beru[a musyawarah untuk mencapai
kesepakatan bersama;
(6) Adanya keinginan untuk hidup bersama;
(7) Jika
demikian halnya, maka harus bersedia pula untuk memberikan pengorbanan.
Kesediaan berkorban ini penting dikembangkan agar semangat kebangsaan
tetap kuat;
(8) Pemilihan umum merupakan syarat mutlak yang menentukan
kehidupan suatu bangsa. Apa yang dikemukakan Renan ini terkait dengan
tuntutan akan demokrasi dan keadilain.
Di antara teori-teori yang telah disebutkan itu, yang sangat
berpengaruh pada pemikiran tokoh-tokoh gerakan kebangsaan Indonesia
termasuk Sukarno dan Hatta ialah teori Ernest Renan.
Nasionalisme Indonesia
Walaupun persatuan Indonesia telah bertunas lama dalam sejarah bangsa
Indonesia, akan tetapi semangat kebangsaan atau nasionalisme dalam arti
yang sebenarnya seperti kita pahami sekarang ini, secara resminya baru
lahir pada permulaan abad ke-20. Ia lahir terutama sebagai reaksi atau
perlawanan terhadap kolonialisme dan karenanya merupakan kelanjutan dari
gerakan-gerakan perlawanan terhadap kolonial VOC dan Belanda, yang
terutama digerakkan oleh raja-raja dan pemimpin-pemimpin agama Islam.
Hubungan erat gerakan perlawanan kaum Muslimin dan nasionalisme ini
telah diuraikan oleh banyak pakar, misalnya oleh G. H. Jansen dalam
bukunya Militant Islam (1979). Namun sebelum menguraikan
hubungan ini akan kita lihat dulu unsure-unsur kolonialisme yang
menimbulkan semangat perlawanan terhadapnya.
Kolonialisme modern, sebagaimana diterapkan VOC dan Belanda di Indonesia mengandung setidak-tidaknya tiga unsure penting:
Pertama. Politik dominasi oleh pemerintahan asing dan
hegemoni pemerintahan asing tersebut terhadap berbagai aspek kehidupan
bangsa Indonesia. Karena itu nasinalisme Indonesia di bidang politik
bertujuan menghilangkan dominasi politik negara asing dengan membentuk
pemerintahan berkedaulatan rakyat yang dipimpin badan permusyawaratan
dan permufakatan dalam perwakilan.
Kedua. Eksploitasi ekonomi. Setiap pemerintahan kolonial
berusaha mengeksplotasi sumber alam negeri yang dijajahnya untuk
kemakmuran dirinya, bukan untuk kemakmuran negeri jajahan. Rakyat juga
diperas dan dipaksa bekerja untuk kepentingan ekonomi kolonial, misalnya
seperti terlihat system tanam paksa (culturstelsel) yang
diterapkan pemerintah Hindia Belanda di Jawa pada awal abad ke-19 dan
menimbulkan perlawanan seperti Perang Diponegoro. Larena itu
nasionalisme Indonesia hadir untuk menghentikan eksploitasi ekonomi
asing dengan berdikari.
Ketiga. Penetrasi budaya. Kolonialisme juga secara
sistematis menghapuskan jatidiri suatu bangsa dengan menghancurkan
kebudayaan dan budaya bangsa yang dijajahnya, termasuk agama yang
dianutnya. Caranya dengan melakukan penetrasi budaya, terutama melalui
system pendidikan. Karena itu di bidang kebudayaan nasionalisme
Indonesia bertujuan menghidupkan kembali kepribadian bangsa yang harus
diselaraskan dengan perubahan zaman. Ia tidak menolak pengaruh
kebudayaan luar, tetapi menyesuaikannya dengan pandangan hidup, sistem
nilai dan gambaran dunia (worldview, Weltanschauung) bangsa Indonesia.
Ketiga aspek tersebut tidak dapat dipisahkan dalam dari semangat yang
mendadasi Pancasila. Dan dapat dirujuk kepada pidato Bung Karno (7 Mei
1953) di Universitas Indonesia, yang intinya ialah:
Pertama, nasionalisme Indonesia bukan nasionalisme sempit (chauvinism) tetapi nasionalisme yang mencerminkan perikemanusiaan (humanisme, internasionalisme);
Kedua, kemerdekaan
Indonesia tidak hanya bertujuan untuk menjadikan negara yang berdaulat
secara politik dan ekonomi, tetapi juga mengembangkan kepribadian
sendiri atau kebudayaan yang berpijak pada sistem nilai dan pandangan
hidup bangsa Indonesia sendiri yang ‘bhinneka tunggal
Harus ditambahkan di sini bahwa disebabkan oleh sejarahnya itu
maka komponen yang membentuk gerakan kebangsaan di Indonesia juga
berbeda dengan komponen nasionalisme Eropa dan Amerika. Komponen yang
membentuk masyarakat Indonesia ialah Islam, kemajemukan etnik dan budaya
bangsa Indonesia dan faham-faham atau ideologi Barat yang mempengaruhi
perkembangnya pada abad ke-20 seperti humanisme, sosialisme, dan
marhaenisme.
Ahli sejarah terkemuka Sartono Kartodirdjo mengemukakan bahwa yang
disebut “nation” dalam konteks nasionalisme Indonesia ialah suatu konsep
yang dialamatkan pada suatu suatu komunitas sebagai kesatuan kehidupan
bersama, yang mencakup berbagai unsur yang berbeda dalam aspek etnis,
kelas atau golongan sosial, sistem kepercayaan, kebudayaan, bahasa dan
lain-lain sebagainya. Kesemuanya terintegrasikan dalam perkembangan
sejarah sebagao kesatuan sistem politik berdasarkan solidaritas yang
ditopang oleh kemauan politik bersama” (dalam “Nasionalisme, Lampau dan
Kini” Seminar Tentang Nasionalisme 1983 di Yogyakarta).
Pengertian yang diberikan Sartono Kartodirdjo didasarkan pada
perkembangan sejarah bangsa Indonesia dan realitas sosial budayanya,
serta berdasarkan berbagai pernyataan politik pemimpin Indonesia sebelum
kemerdekaan, seperti manifesto Perhimpunan Indonesia dan Sumpah Pemuda
1928. Unsur-unsur nasionalisme Indonesia mencakup hal-hal seperti
berikut:
1. Kesatuan (unity) yang mentransformasikan hal-hal yang
bhinneka menjadi seragam sebagai konsekwensi dari proses integrasi.
Tetapi persatuan dan kesatuan tidak boleh disamakan dengan penyeragaman
dan keseragaman.
2. Kebebasan (liberty) yang merupakan keniscayaan bagi negeri-negeri
yang terjajah agar bebas dari dominasi asing secara politik dan
eksploitasi ekonomi serta terbebas pula dari kebijakan yang menyebabkan
hancurnya kebudayaan yang berkepribadian.
3. Kesamaan (equality) yang merupakan bagian implisit dari masyarakat
demokratis dan merupakan sesuatu yang berlawanan dengan politik kolonial yang diskriminatif dan otoriter.
4. Kepribadian (identity) yang lenyap disebabkan ditiadakan
dimarginalkan secara sistematis oleh pemerintah kolonial Belanda.
5. Pencapaian-pencapaian dalam sejarah yang memberikan inspirasi dan
kebanggaan bagi suatu bangsa sehingga bangkit semangatnya untuk
berjuang menegakkan kembali harga diri dan martabatnya di tengah bangsa
Konsepnya itu didasarkan atas pengamatannya terhadap sejarah Indonsia
khususnya sejak masa penjajahan. Ia jelas sekali menerima beberapa pandangan yang dikemukakan oleh Ernest Renan.
Notonagoro, seorang ahli falsafah dan hukum terkmuka dari Universitas
Gajah Mada, mengemukakan bahwa nasionalisme dalam konteks Pancasila
bersifat “majemuk tunggal” (bhinneka tunggal ika). Unsur-unsur yang
membentuk nasionalisme Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Kesatuan Sejarah, yaitu kesatuan yang dibentuk dalam perjalanan
sejasrahnya yang panjang sejak zaman Sriwijaya, Majapahit dan
munculnya kerajaan-kerajaan Islam hingga akhirnya muncul penjajahan VOC
dan Belanda. Secara terbuka nasionalisme mula pertama dicetuskan dalam
Sumpah Pemuda 28 Oktober 1945 dan mencapai puncaknya pada Proklamasi
Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.
2. Kesatuan Nasib. Bangsa Indonesia terbentuk karena memiliki
persamaan nasib, yaitu penderitaan selama masa penjajahan dan
perjuangan merebut kemerdekaan secara terpisah dan bersama-sama,
sehingga berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa dapat memproklmasikan
kemerdekaan menjelang berakhirnya masa pendudukan tentara Jepang.
3. Kesatuan Kebudayaan. Walaupun bangsa Indonesia memiliki
keragaman kebudayaan dan menganut agama yang berbeda, namun
keseluruhannya itu merupakan satu kebudayaan yang serumpun dan mempunyai
kaitan dengan agama-agama besar yang dianut bangsa Indonesia, khususnya
Hindu dan Islam.
4. Kesatuan Wilayah. Bangsa ini hidup dan mencari penghidupan di
wilayah yang sama yaitu tumpah darah Indonesia.
5. Kesatuan Asas Kerohanian. Bangsa ini memiliki kesamaan cia-cita,
pandangan hidup dan falsafah kenegaraan yang berakar dalam pandangan
hidup masyarakat Indonesia sendiri di masa lalu maupun pada masa kini.
Dalam kaitannya dengan bentuk pemerintahan atau negara, Soepomo dan
Mohamad Yamin mengemukakan agar bangsa Indonesia menganut paham
integralistik, dalam arti bahwa negara yang didiami bangsa Indonesia
merupakan suatu kesatuan integral dari unsur-unsur yang menyusunnya.
Paham integralistik mengandaikan bahwa negara harus mengatasi semua
golongan. Notonagoro di lain hal mengusulkan agar NKRI menjadi negara
yang berasaskan kekeluargaan, tetapi diartikan keliru oleh Suharto dan
rezimnya selama lebih 30 tahun. Sampai sekarang tampaknya kita masih
gamang akan memilih paham yang mana untuk menentukan masa depan negara
kita. Kita juga belum tahu bagaimana menempat kebudayaan penduduk
Nusantara yang bineka itu, yang multi-etnik, multi-budaya dan
multi-agama, dalam rangka negara persatuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar