Hak Anak dan Hak Perempuan
Dalam Perspektif Islam
Bangsa Arab sebelum Islam telah menganggap anak perempuan adalah petaka keluarga. Keberadaan perempuan pada masa itu hanya dianggap sebagai obyek eksploitasi demi kepentingan laki-laki. Bukan hanya di Arab, hampir seluruh pelosok bumi perempuan hanya dijadikan pelayan-pelayan istana. Apabila ada pemimpin negara mengunjungi negara lain, mereka sering memberi hadiah berupa seorang perempuan. Kondisi seperti ini meninggalkan kesan dalam masyarakat Arab pra-Islam, menempatkan anak perempuan sebagai aib keluarga. Sehingga anak perempuan dikuburkan hidup-hidup bahkan ada yang dieksploitasi dengan menjualnya sebagai budak. Setelah Islam datang menentang tradisi di atas. Al-Qur’an mengatakan: “Allah tidak menyia-nyiakan setiap amal yang dikerjakan baik laki-laki maupun perempuan”. Allah menciptakan laki-laki dan perempuan bukan untuk saling menindas, tetapi mendapatkan kebahagiaan.
Namun saat ini, kondisi seperti di atas tidak terjadi lagi, karena pemerangan terhadap jahiliyah telah dilakukan secara terus menerus, hingga saat ini kita bisa mengenal yang namanya hak. Hak yang dimaksud adalah hak atau sesuatu yang dimiliki oleh anak dan perempuan. Dalam pandangan Islam, masalah pemenuhan hak anak dan hak perempuan telah diatur, seperti anak tidak dibebani hukum, anak-anak tidak wajib shalat, puasa dan ibadah-ibadah lainnya sampai ia dewasa (masa baligh). Tetapi masalah anak menjadi bagian yang penting bagi orang dewasa. Oleh karena itu, Rasulullah SAW bersabda: “Setiap anak itu lahir dalam keadaan suci, orang tuanyalah yang menjadikan anak tersebut menjadi yahudi, nasrani atau majusi”. Ini menunjukkan bahwa tanggung jawab yang paling besar terhadap anak adalah orang tua. Peranan orang tua menjadi prioritas dalam perkembangan anak di masa mendatang. Perkembangan tersebut mulai dari anak dalam kandungan sejak ia tumbuh menjadi seorang manusia yang dewasa.
Secara umum ada tiga komponen yang paling bertanggung jawab terhadap pencegahan terjadinya perampasan hak anak dan perempuan. Pertama, pemerintah, karena pemerintahlah yang paling bertanggung jawab dalam menjamin pemenuhan hak asasi setiap anak, dengan tanpa membedakan suku, ras, agama, budaya dan bahasa. Pemerintah wajib memberikan sarana dan prasarana yang memadai untuk mencegah terjadinya perampasan hak anak dan perempuan. Peningkatan ekonomi keluarga, tempat belajar dan bermain yang aman serta menindak tegas kepada siapapun yang mengeksploitasi anak dan perempuan. Bahkan pemerintah perlu meyediakan Lembaga Peradilan dan Rumah Tahanan khusus bagi anak perempuan. Kedua masyarakat, sebagai komunitas yang sering dijumpai anak dan perempuan. Masyarakat bertanggung jawab terhadap anak dan perempuan di lingkungannya. Masyarakat harus dapat menghapus budaya yang membuka peluang terjadinya perampasan hak anak dan perempuan serta eksploitasi terhadap mereka. Masyarakat harus peka terhadap apa saja yang terjadi dalam lingkungannya yang dapat menghambat pertumbuhan, perkembangan dan pelanggaran hak-hak asasi anak dan perempuan dan anak. Ketiga, keluarga. Dalam hal ini ibu dan ayah serta seluruh keluarga anak dan perempuan tersebut. Keluarga berperan penting dalam mencegah terjadinya perampasan hak. Keluarga sangat berperan, keluarga akan terwujud jika orang tua melaksanakan kewajiban terhadap pendidikan anak. Kewajiban orang tua mendidik anak dapat ditempuh melalui berbagai cara, seperti pendidikan melalui keteladanan, perintah, nasehat, dan lain sebagainya. Di lingkungan keluarga orang tua sebagai pendidik utama harus menjadi contoh teladan bagi anak-anaknya bahkan perilaku orang tua mempengaruhi perkembangan anak sejak dalam kandungan. Keluarga dalam bidang pendidikan keluarga merupakan sumber pendidikan utama dan pertama bagi anak, karena dari keluarga lah lahirnya sebuah proses pendidikan yang pertama sekali diterima anak. Namun demikian tidak sedikit pula kepribadian anak dipengaruhi oleh kondisi keluarga. Faktor penghambat proses pembinaan kepribadian anak yang bersumber dari dalam keluarga, antara lain: ”masalah kemampuan ekonomi, broken home, dan kurang kontrol dari orang tua”.
Kita sebagai umat Islam baik itu anak, perempuan dan orang dewasa lainnya serta seluruh umat Islam dituntut untuk memiliki pendidikan terutama pendidikan Islam. Hal ini karena tujuan pendidikan Islam adalah untuk menciptakan manusia berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur, taat kepada Allh SWT sehingga dapat mencintai diri sendiri dan lingkungannya. Adapun tujuan lain dari pendidikan Islam adalah agar dapat menciptakan manusia yang sempurna dan agar mengetahui perbedaan-perbedaan perangan manusia yang baik maupun yang jahat, juga agar manusia dapat memegang teguh perangai-perangai baik dan menjauhkan diri dari perangai jahat serta membentuk jiwa setiap anak menjadi manusia berakhlak mulia, budi pekerti luhur serta taat kepada Allah SWT.
Dalam pandangan Islam, perkembangan kepribadian anak dipengaruhi oleh beberapa faktor internal dan eksternal. Faktor internal atau faktor yang merupakan pembawaan yang melekat pada organisme dan cita-cita, sedangkan faktor eksternal adalah pengaruh lingkungan terutama lingkungan sosial dan proses pribadi. Kedinamisan pribadi menjelaskan bahwa pribadi itu berkembang selaras dengan pertumbuhan dan perkembangan setiap aspek baik itu aspek biologis, psikologis, maupun sosiologis seseorang. Jadi ternyata dengan citra dirinya sendiri dan sekaligus menilai terhadap lingkungannya terutama dalam lingkungan sosial, karenanya dapat diambil contoh, anak menyadari adanya sifat dan sikap sendiri yang baik dan buruk, dengan kesadaran itu pula anak menilai sikap dan sifat teman sepergaulannya.
Dalam Konvensi Hak Anak, hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, masyarakat, pemerintah dan negara. Ada empat prinsip dasar hak anak yang terkandung yaitu: non diskriminasi, artinya semua hak anak yang diakui dan terkandung dalam KHA harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa pembedaan apapun, terbaik bagi anak, artinya bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut anak, maka apa yang terbaik bagi anak haruslah menjadi pertimbangan yang utama, kelangsungan hidup dan perkembangan anak, artinya bahwa hak hidup yang melekat pada diri setiap anak harus diakui dan hak anak atas kelangsungan hidup dan perkembangannya harus dijamin, dan penghargaan terhadap pendapat anak, maksud dari pendapat anak disini terutama jika ini menyangkut hal yang mempengaruhi kehidupannya yang perlu diperhatikan dalam setiap pengambilan keputusan.
Sama halnya terjadi pada diri perempuan, pada prinsipnya secara umum perempuan adalah makhluk yang tidak lemah dan tidak suka bertarung secara fisik. Perempuan sering disebut memiliki perasaan yang halus. Sehingga perasaannya akan sangat terganggu melihat perkelahian dan pemikulan. Perempuan dituntut untuk menjaga kehormatannya dengan tidak berkumpul bersama kaum lelaki. Sikap-sikap seperti ini adalah sikap yang ingin dilindungi dan dipelihara. Ketergantungan atau ketidak mandirian merupakan hal utama yang paling melumpuhkan perempuan hingga saat ini. Konflik yang terjadi antara ketergantungan dan kemandirian perempuan akan mencari jalan keluar dengan bekerja /berusaha keras (working through) untuk mengatasi keadaan.
Ditetapkannya peran laki-laki sebagai kepala dan pemimpin rumah tangga dan perempuan sebagai ibu rumah tangga, ternyata memberi peluang terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (perempuan termasuk di dalamnya). Beberapa hal yang sering kali menjadi penyebab adalah masalah kedudukan sosial, stres, citra diri, nilai-nilai pribadi yang diterima dan dianut sejak dari lahir.
Ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan yang sering didengungkan merupakan akibat dari struktur keluarga di mana perempuan lah yang harus bertanggung jawab untuk seluruh urusan rumah tangga, mulai dari mengasuh anak hingga persoalan rumah tangga lainnya. Perempuan juga dianggap sebagai warga kelas dua. Jenis kelamin perempuan ditempatkan dalam posisi subordinat atau bawahan. Sedangkan jenis kelamin laki-laki sebagai superordinat atau menduduki posisi dominan. Banyak perempuan yang seolah- olah lumpuh, tidak mampu mewujudkan potensi diri mereka sepenuhnya. Ketakutan dapat menahan gerak maju perempuan. Situasi seperti ini banyak dijumpai dengan perempuan Indonesia, karena kultur ketimuran disalahpersepsikan sehingga membelenggu perempuan ke dalam format-format patriarki yang tidak menguntungkan posisi perempuan. Sejumlah perempuan memilih hidup aman di balik bayang-bayang suaminya. Merekalah yang tanpa sadar memposisikan diri sebagai figur yang kontra dengan ide emanisipasi. Eksistensi perempuan tidak memandang jenis pekerjaan yang dipilihnya, namun berada pada tingkat keimanannya.
Penulis: Maulida Ulfa. R, S.Sos.I
Koordinator Children Center Muhammadiyah Darul Kamal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar